Assalamu'alaikum Wr. Wb. Kami mengajak masyarakat, muslim-non muslim, pemuda, profesional, mahasiswa dan santri untuk bersama-sama membangun Jakarta yang plural. PKB terbuka dan siap bekerjasama untuk membangun Jakarta dengan prinsip tasamuh, tawasuth, dan hurriyah. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. .

05 Desember 2008

Mencermati Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2009

Oleh Hamim Enha Gipo

Semenjak bergulirnya masa reformasi, demokrasi Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan. Penyelenggaraan Pemilu (1999 & 2004), meskipun masih terdapat banyak kekurangan tetapi dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis dan menjadi titik tolak tegaknya demokrasi di negeri ini. Dan kurang dari 5 bulan lagi, tepatnya tanggal 9 April 2009, kita akan menyelenggarakan perhelatan akbar Pemilu Legislatif (DPR, DPRD, dan DPD).

Dalam masyarakat yang memilih demokrasi sebagai sistem kenegaraannya, pemilu merupakan salah satu tonggak demokrasi dan instrumen untuk mewujudkan cita-cita demokrasi (Gaffar, 1993), yaitu terbentuknya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, memiliki kebebasan berekspresi dan berkehendak, dan mendapatkan akses terpenuhinya hak-hak mereka sebagai warga negara. Karena itu, untuk melihat ada tidaknya demokrasi dalam penyelenggaraan negara, indikatornya adalah pemilu yang dilakukan secara bebas dan berkesinambungan.

Setiap warga negara, apapun latar belakangnya seperti suku, agama, ras, jenis kelamin, status sosial, dan golongan, mereka memiliki hak yang sama untuk berserikat dan berkumpul, menyatakan pendapat, menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah dan pejabat negara. Hak ini disebut hak politik yang secara luas dapat langsung diaplikasikan secara kongkrit melalui pemilihan umum.
Dalam menyelenggarakan pemilu diperlukan tata cara dan prosedur yang disebut sistem pemilu. Sistem pemilu mencakup dua hal: pertama, nilai-nilai normatif yang tertuang dalam Undang-undang Pemilu yang mengatur bagaimana membagi kekuasaan dalam lembaga perwakilan secara proporsional sesuai dukungan politik yang tergambar dari hasil perolehan suara dalam pemilu. Kedua, proses pemilihan, yaitu mekanisme pemilihan yang meliputi pengelolaan pemilu, pemilihan di tempat pemungutan suara, perhitungan suara, petugas pemilu, penetapan hasil pemilu, dan menetapkan hasil pemilu menjadi kursi di lembaga perwakilan rakyat.

Sistem pemilu di Indonesia belum tentu sama persis dengan sistem pemilu di negara lain, kendati sama-sama menganut sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Hal ini karena sistem pemilu tidak mempunyai aturan yang baku. Masing-masing negara memiliki sistem pemilihan sendiri yang disesuaikan dengan kondisi politik, situasi sosial, faktor sejarah dan budaya masing-masing negara. Selain itu juga terkait luas wilayah negara, jumlah penduduk, konsep kenegaraan, kebijakan pemerintah, kondisi ekonomi, hukum, keamanan, pertahanan, dan kebiasaan masyarakatnya.

Setiap sistem mempunyai efek dan dampak yang sangat serius yang berhubungan dengan prinsip keterwakilan dalam proses pemilihan umum. Menurut FS Suwantoro (2005), secara substantif sistem pemilu memiliki tiga tugas:
1.Menterjemahkan suara pemilih ke dalam jumlah kursi di lembaga legislatif,
2.Sebagai saluran bagi rakyat meminta pertanggungjawaban wakil mereka,
3.Memberikan dorongan kepada mereka yang memperebutkan kekuasaan untuk membuat kesepakatan kepada para memilih dengan cara dan pilihan yang berbeda.

Adapun untuk menilai sebuah sistem pemilu tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, maka diperlukan kreteria sebagai berikut:
a.Akuntabilitas. Sistem pemilu harus memiliki bobot yang dapat diukur melalui tingkat ketanggapan pemerintah atas tuntutan masyarakat.
b.Prinsip keterwakilan. Sistem pemilu menghasilkan orang-orang yang mewakili kepentingan rakyat.
c.Adil. Sistem pemilu harus menjamin tidak adanya diskriminasi dalam proses pelaksanaannya.
d.Sistem pemilu memberikan bobot yang setara diantara para pemilih.
e.Sistem pemilu harus dapat menghasilkan stabilitas dalam pemerintahan sehingga negara berjalan efektif.
f.Sistem pemilu harus menghasilkan keseimbangan antara partai politik dan kontrol masyarakat atas partai politik.
g.Sistem pemilu menjamin pemilih dapat mengekspresikan pilihan mereka secara akurat dan sederhana.

Secara umum, terdapat tiga tipe sistem pemilu yang lazim digunakan dalam suatu negara. Pertama, Sistem Mayoritas atau Simple Majority Single Member Constituency atau biasa disebut sistem distrik. Yaitu sistem dimana seorang kandidat dapat terpilih jika mendapatkan jumlah tertinggi dari suara yang ada dalam satu distrik (daerah pemilihan), atau mayoritas dari suara sah dalam wilayah pemilihan itu (distrik). Jika Indonesia menerapkan sistem ini, bisa jadi distriknya adalah daerah tingkat II (kabupaten/kota).

Sistem ini memiliki nilai lebih tapi juga mempunyai kelemahan. Kelebihannya adalah: 1) Dapat membatasi jumlah partai, biasanya menjadi tinggal 2 partai sehingga memudahkan pemilih. 2) Hubungan pemilih dan yang mewakili lebih jelas. 3) Pemerintah yang dihasilkan kemungkinan besar akan lebih stabil dan kuat. 4) Mendorong munculnya partai oposisi yang mengontrol pemerintah. 5) Mendorong sistem kepartaian yang kondusif karena biasanya partai-partai kecil akan bergabung dengan partai besar. 6) Sistem pemilu yang sederhana dan mudah dilaksanakan.

Sedangkan kelemahannya adalah: 1) Calon yang terpilih biasanya menjadi sangat terikat dengan daerahnya, sehingga persoalan-persoalan nasional yang lebih besar sering diabaikan. 2) Sistem ini kurang cocok bagi masyarakat yang heterogen, karena mengabaikan suara-suara dari partai kecil. Padahal jika suara-suara partai kecil dikumpulkan bisa jadi menjadi jumlah suara yang signifikan. 3) Partai-partai kecil tidak diikutsertakan dalam perwakilan yang adil. 4) Tidak sensistif atau terlalu sensitif dengan opini publik. 5) dapat memicu munculnya partai yang berlatar belakang etnis tertentu

Kedua, Sistem Representasi Proposorsional (Proportional Representation Multy Member Constituency) atau populer disebut Sistem Proporsional. Sistem ini menghargai wilayah pemilihan yang majemuk sehingga jumlah wakil rakyat yang dipilih ditentukan oleh perolehan suara yang didapatkan. Kelebihan sistem proporsional, antara lain 1) Lebih cocok diterapkan dalam masyarakat yang majemuk. 2) Suara dari partai-partai kecil dapat digabung sehingga partai kecil memiliki kesempatan menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan rakyat. 3) Sistem ini mencegah dominasi partai-partai besar di daerah tertentu. 4) Menciptakan sharing pemerintahan dan kerjasama antara pemerintah dan partai.

Sistem proporsional juga memiliki kelemahan, antara lain: 1) Biasanya sistem ini lebih mudah menimbulkan perpecahan dalam tubuh partai. 2) Calon wakil rakyat lebih dekat dengan partai daripada dengan pemilihnya. 3) Mendorong munculnya multi partai. 4) Menjadikan partai-partai ekstrim bertahan dan tidak mengakomodasi kandidat independen. 5) Pemerintah dalam sistem ini kurang bertanggungjawab karena sulit menyingkirkan partai yang berkoalisi dari kekuasaan.

Ketiga, perpaduan antara sistem distrik dan proporsional. Dalam sistem ini partai yang tidak memiliki dukungan suara terbanyak dapat memperoleh perwakilan, tetapi alokasi perwakilannya tidak sesuai dengan persentase suara yang didapatkan partai seperti dalam sistem proporsional.

Sistem Pemilu Indonesia: 1999, 2004 dan 2009.
Ketika pemerintahan Orde Baru akan menyelenggarakan Pemilu pertama kali, terjadi perdebatan panjang untuk menentukan sistem manakah yang hendak diterapkan: Distrik ataukah Proporsional? Perdebatan ini sengit dan berlarut-larut sehingga pemilu yang direncanakan digelar pada tanggal 3 Juli 1968 terpaksa ditunda sampai tanggal 5 Juli 1971.

Pihak pemerintah menghendaki agar pemilu dilaksanakan dengan sistem distrik. Alasannya, dengan sistem distrik rakyat akan memilih wakil-wakil mereka di daerah masing-masing. Dan juga rakyat akan memilih orang yang betul-betul sudah dikenal. Konsekwensinya calon legislatif harus berasal dan berdomisili di daerah pemilihan. Usulan ini ditolak oleh partai-partai besar seperti PNI dan PNU. PNI beralasan sistem distrik lebih menonjolkan individu dan mengurangi peranan partai. Sedangkan PNU beralasan masyarakat Indonesia belum siap dengan pola stelsel perorangan. Partai-partai lebih cenderung dengan sistem proporsional yang menciptakan kombinasi antara daerah pemilihan dengan kelangsungan partai. Setelah berlangsung perdebatan yang alot dan panjang akhirnya disepakati sistem pemilu pertama masa Orde Baru adalah sistem proporsional dengan stelsel daftar. Sementara masalah domisili dihapuskan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk Jawa dan Luar Jawa. Sedangkan daerah pemilihannya adalah Propinsi, bukan Daerah Tingkat II seperti dalam usulan Distrik.

Pada pemilu 1999 pasca lengsernya Presiden Soeharto, sistem yang digunakan tetap sistem proporsional tetapi dengan daftar tertutup. Pemilih langsung mencoblos tanda gambar partai. Daftar calon wakil rakyat ada di tangan partai. Masyarakat lebih memilih partai ketimbang wakil mereka.

Dalam sistem pemilu tahun 2004, kendati menggunakan sistem proporsional, tetapi dengan daftar terbuka. Dalam sistem ini, selain mencatumkan tanda gambar partai, juga ditermuat daftar calon legislatif. Dengan demikian, pemilih dapat memilih partai dan calon yang diinginkan.

Untuk pemilu tahun 2009, sistem pemilu yang digunakan mengikuti sistem pemilu 2004. Hanya saja calon legislatif dapat langsung memperoleh kursi di parlemen jika memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Jika tidak ada yang mendapatkan 30% dari BPP maka suara dialokasikan kepada nomor urut atas sampai mendapatkan BPP. Sehingga nomor urut yang paling ataslah yang mendapat keuntungan dari sistem ini. Sedangkan nomor urut bawah, walaupun perolehan suaranya lebih banyak dari nomor urut atas terpaksa tidak mendapatkan kursi.

Bagaimana mengetahui Perolehan Kursi dalam Pemilu 2009?
Berbeda dengan pemilu 2004, pada pemilu 2009 diberlakukan ketentuan Parliament Threshold (PT), yaitu hitungan ambang batas dimana partai dapat memiliki jatah kursi di DPR. Pada pemilu 2009 nanti, partai yang memperoleh Parliament Threshold sebesar 2,5% dari total suara sah saja yang mendapatkan kursi DPR. Sedangkan yang tidak mencapai 2,5% dari Parliament Threshold tidak memperoleh kursi dari daerah pemilihan manapun.

Hal itu diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Pasal 202
(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota

Pasal 203
(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.
(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1).
(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.

Dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tersebut dipahami bahwa penentuan kursi di DPR didasarkan kepada perolehan suara partai yang mencapai 2,5% dari suara sah secara nasional BPP.

Bagaimana Menentukan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dalam sebuah Daerah Pemilihan?
Sebelum menentukan BPP, perlu diketahui terlebih dahulu jumlah suara yang sah dengan memperhatikan faktor Parliament Threshold. Sebab partai yang tidak mencapai 2,5% Parliament Threshold (ambang batas perolehan suara) tidak diikutsertakan dalam penentuan kursi, sehingga suaranya hangus.
Suara yang sah adalah suara sah partai yang telah mencapai Parliament Threshold dikurangi suara partai yang tidak memenuhi Parliament Threshold. Hasilnya adalah suara sah partai politik peserta pemilu.
Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) diperoleh dengan membagi suara sah dengan jumlah kursi di suatu dapil. Setelah angka BPP didapatkan, selanjutnya ditentukan jumlah kursi yang didapatkan oleh masing-masing partai yang memenuhi Parliament Threshold di dapil tersebut.
Bagaimana jika dalam suatu Partai Politik, calegnya tidak ada yang mencapai BPP?
Perlu diketahui, bahwa dalam pemilu 2009 nanti, BPP bukanlah satu-satunya cara menentukan perolehan kursi. Setidaknya ada 5 (lima) cara dalam menentukan perolehan kursi bagi caleg pada suatu dapil menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 214 ayat (1), yaitu:

a. Calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% BPP.
b. Bila jumlah caleg 30% lebih banyak dari jumlah kursi yang diperoleh parpol tersebut, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil
c. Bila terdapat dua caleg 30% BPP,dengan perolehan suara yang sama, maka calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil
d. Bila caleg 30% jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh parpol, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut
e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.

Jika jumlah kursi sudah ditentukan berdasarkan ketentuan pembagian tersebut tetapi masih terdapat sisa jumlah kursi di daerah pemilihan, maka dilakukan pembagian kursi kembali dengan cara sebagai berikut:

1. Dengan membagi jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik peserta pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP (Pasal 207 (4))
2. Dengan cara seluruh sisa suara partai politik peserta pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP baru (Pasal 207 (5))
3. Dengan cara membagi jumlah sisa kursi kepada partai peserta pemilu yang memiliki suara terbanyak di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai habis (Pasal 208)
4. Jika masih ada sisa kursi yang belum terbagi dan sisa suara partai politik sudah terkonversi menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang mempunyai akumulasi perolehan suara terbanyaj secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan (Pasal 209).


Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2009
Dalam beberapa survey yang dilakukan oleh lembaga riset, ditemukan kesimpulan yang cukup memprihatinkan, bahwa angka partisipasi masyarakat untuk memberikan suaranya dalam ajang pemilihan langsung mengalami kecendrungan menurun. Tren melorotnya partisipasi pemilih ini berlangsung sejak pemilu 1971 sampai pemilu 2004, dan diperkirakan juga berlangsung sampai pemilu 2009. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka Golput (Golongan Tidak Memilih) dalam perhelatan Pilkada di daerah-daerah.

Perlu dicatat, pada pemilu 1999 angka Golput mencapai 7,2% dan mengalami kenaikan pada pemilu 2004 sebanyak 16 persen. Angka tersebut ternyata mengalami kenaikan drastis ketika diselenggarakan pemilihan presiden langsung untuk pertama kalinya, yaitu mencapai 21,77% pada putaran pertama dan berkembang menjadi 23,37% pada putaran kedua.

Pada pemilu 2009, tidak ada yang menjamin bahwa partisipasi pemilih akan bertambah banyak. Bahkan diperkirakan jumlah Golput mencapai 30%. Jika ini yang terjadi, kita patut menyayangkan karena pemilu 2009 dianggap “pemilu yang menentukan” pasca Pemilu 2004. Pemilu 2009 dianggap koreksi total atas pemilu 2004. Jika pemilu 2004 banyak menghasilkan wakil rakyat yang tidak membela rakyat, korupsi, dan banyak tersangkut skandal, maka pemilu 2009 merupakan pertaruhan apakah kita akan terus mendapatkan wakil rakyat yang rakus dan korup karena kita tidak memilih? ataukah kita dengan sepenuh hati memilih calon wakil rakyat yang kita ketahui mempunyai integritas, jujur, membela rakyat, dan amanah? Tentu saja pilihannya ada di tangan kita semua.

Pada dasarnya, menurunnya angka partisipasi pemilih karena disebabkan beberapa faktor, yaitu: Pertama, data pemilih yang belum tertata. Seringkali data pemilih sementara (DTS) berkali-kali direvisi karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Kedua, masyarakat tidak merasa diwakili oleh partai politik, sehingga menggunakan hak pilih atau tidak dianggap tidak ada nilainya atas diri pemilih. Ketiga, masyarakat menilai wakil rakyat yang ada di DPR tidak mencerminkan keterwakilannya. Keempat, apatisme masyarakat yang merasa pemilu, partai politik, dan calon legislatif tidak akan pernah merubah nasib mereka. Kelima, munculnya kesadaran dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya, sehingga akan selektif menentukan pilihannya. Golput menjadi pilihan jika partai dan caleg yang ada tidak memenuhi kriteria mereka.

Kelima hal ini seharusnya mulai dan sedang diatasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap berjalannya pemilu 2009 dengan sukses, yaitu Pemerintah, KPU, Banwaslu, Lembaga pemantau, dan seterusnya. Karena jika tidak ditangani dan nanti betul-betul terbukti angka Golput semakin tinggi, bukan tidak mungkin Pemilu yang diharapkan sebagai sarana menemukan wakil-wakil rakyat yang merakyat akan kembali diisi oleh para pendusta rakyat yang mendompleng melalui partai-partai besar.

Setidaknya, ada dua kelompok yang bisa didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan pemilu 2009, yaitu kelompok pemilih pemula dan swing voters. Dengan sosialisasi pemilu yang efektif dan penyadaran akan pentingnya pemilu dapat memicu para pemilih pemula untuk menggunakan hak suaranya.

Sementara bagi mereka yang belum menentukan pilihannya (swing voters), partai politik peserta pemilu dapat membidik mereka dengan program-program partai yang menjanjikan perubahan. Janji-janji pemilu diberikan secara logis, membumi, rasional dengan disertai “bagaimana” cara melaksanakan janji-janji itu jika nanti memenangi pemilu.

Namun tidak bisa disangkal, sebetulnya banyak calon legislatif bermutu yang tersandera dalam partai yang sedang memiliki citra negatif. Atau kader-kader partai yang berkualitas yang berkiprah dalam partai politik yang sarat konflik dan ricuh tak berkesudahan. Dan juga tidak sedikit caleg pembela rakyat yang bervisi kemajuan mendapatkan nomor urut belakang. Mereka-meraka yang berkualitas dan berdedikasi yang seharusnya berpotensi mendapatkan kursi legislatif terhadang oleh persoalan internal partai, sehingga kemungkinan untuk memperoleh suara signifikan kecil sekali. Untuk mendorong mereka tetap berjuang untuk memperoleh kursi legislatif perlu digelorakan semangat baru untuk tidak hanya memperhatikan partai politik peserta pemilu, melainkan harus lebih berorientasi kepada calon legislatifnya. Karena itu, untuk sementara tak perlu memperdulikan partainya, tetapi pilihlah calon legislatifnya, jika memang betul-betul berkualitas.[]


Jakarta, 21 Nopember 2008




0 komentar:

 
© Copyright by Generasi Hijau  |  Template by Blogspot tutorial