Assalamu'alaikum Wr. Wb. Kami mengajak masyarakat, muslim-non muslim, pemuda, profesional, mahasiswa dan santri untuk bersama-sama membangun Jakarta yang plural. PKB terbuka dan siap bekerjasama untuk membangun Jakarta dengan prinsip tasamuh, tawasuth, dan hurriyah. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. .

12 September 2008

Mendorong Kebangkitan Saudagar Santri

Oleh :
Rahmat Hidayat, S.HI
*

Sendi-sendi kebudayaan atau tradisi suatu bangsa dan komunitas pada dasarnya dibangun melalui proses ekonomi-akumulasi modal, pendidikan-akumulasi pengetahuan, dan politik-akumulasi kekuasaan yang berjalan bersamaan.

Semakin baik status ekonomi, mutu pendidikan, serta semakin luas pengaruh kekuasaannya, maka semakin erudite kebudayaan dan tradisi yang dilahirkan dan dikembangkan. Pada faktanya sejarah perjalanan Islam di Nusantara di mulai dari sejarah perdagangan, kemudian berkembang dan merambah pada sektor pendidikan, dan berakhir pada kekuasaan. Kekuasaan dibentuk atau direbut semata-mata hanya menjadi alat untuk mengamankan dan mengembangkan sektor ekonomi yang berjalan beriringan dengan sektor pendidikan. Hubungan antara ekonomi, pendidikan, dan politik inilah yang menciptakan tradisi dan tatanan masyarakat muslim Nusantara termasuk Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU).

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan juga di dunia, dalam sejarah perjalanannya tidak bisa dilepaskan dari hubungan dialektis ketiga sektor di atas. Melihat proses terbentuknya NU, kita dapat menangkap adanya proses metamorfosis dari organisasi kebangkitan bangsa (Nahdlatul Wathan), organisasi intelektual (Taswirul Afkar), dan organisasi kebangkitan saudagar santri (Nahdlatut Tujjar) menjadi organisasi kebangkitan ulama (Nahdlatul Ulama). Tahapan-tahapan menjadi NU ini sebenarnya memiliki benang merah dalam proses terbentuknya tradisi yang ada di jam’iyyah dan jama’ah NU.

Salah satu kelemahan kita dalam konteks mengembangkan NU secara keseluruhan ada pada kesalahan kita dalam memaknai tradisi. Keterputusan historis dalam membaca tradisi NU menjadikan tradisi hanya sesuatu yang statis dan parsial. Tradisi dilihat sudah final dan hanya dipahami terbentuk dari susunan praksis keagamaan semata. Seharusnya tradisi NU dibaca terbentuk dari empat unsur di atas yang berjalan dinamis. Dengan begitu kita dapat merumuskan identitas NU sebagai sekelompok masyarakat yang memiliki jiwa kebangsaan, semangat entrepreneurship, kecerdasan intelektual, dan menjalankan praksis keagamaan berdasarkan Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Tradisi memegang peranan kunci dalam melakukan perubahan-perubahan orientasi dan tindakan di kalangan jam’iyyah dan jama’ah NU. Untuk mendorong sebuah perubahan yang kita rasa baik bagi tatanan sosial-politik-ekonomi di kalangan nahdliyyin, maka langkah yang tepat adalah menghidupkan kembali tradisi yang sebenarnya telah ada dalam NU. Dengan cara itu, transformasi dapat berjalan massive dan saling menguatkan di antara semua sektor.

KH Abdurrahman Wahid atau biasa disebut Gus Dur adalah sedikit orang yang memahami secara baik apa persoalan-persoalan mendasar dan tantangan ke depan yang dihadapi NU pada jamannya. Ia menggunakan tradisi yang telah ada sebagai alat transformasi. Keberhasilannya pun sudah dapat kita rasakan dampak positifnya hari ini. Fenomena gerakan kembali ke khittah –diputuskan dalam Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984– yang disuarakan Gus Dur harus dilihat dari setting sosial-politik yang berkembang pada masa itu. Di mana NU berkelindan secara dalam di politik dan melupakan fungsi-fungsi sosial-kemasyarakatannya.

Tentu Gus Dur dan para pendukung gagasan kembali ke khittah tidak mengatakan politik itu tidak perlu, karena politik pada hakikatnya memiliki fungsi yang baik dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertimbangan ini didasari dari perhitungan yang cermat; Pertama, setting politik tidak memungkinkan NU dapat berbuat banyak pada masa itu di mana partai hanya sekedar bunga-bunga demokrasi prosedural; Kedua, lamanya NU terlibat dalam politik praktis telah melupakan kerja-kerja pokok NU dalam mengembangkan sumber daya manusianya; Ketiga, untuk menggiring dan menciptakan arus baru, maka jalan yang baik adalah tidak berkonfrontasi dengan arus yang sudah ada, tetapi dengan cara menjalankan dan menghidupkan kembali tradisi yang telah terbengkalai; Keempat, pilihan taktis dengan mengurangi aktivitas politik formal adalah langkah strategis dalam menyusun, menata, dan menyiapkan resources warga NU dalam memasuki fase baru nanti. Toh pada akhirnya, seperti yang diyakini para penggagas khittah, Orde Baru akan berakhir.

Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada hari ini sudah seharusnya berdampak pada pergeseran cara pandang dan pola pikir NU. Seiring menguatnya fungsi sosial-kemasyarakatan NU dan terus membaiknya kondisi pendidikan warga NU serta diiringi dengan menguatnya peran politik warga NU di dalam banyak partai, seharusnya semua itu berdampak pada meningkatnya kesejahteraan ekonomi di kalangan nahdliyin.

Kenyataan serius yang dihadapi NU hari ini adalah memikirkan dan merumuskan jalan keluar dari situasi krisis ekonomi yang dialami warga NU. Tentu kalangan nahdliyin tidak dapat berharap banyak terhadap partai politik yang didirikan warga NU – sekalipun sesungguhnya ini keharusan bagi mereka – karena kenyataannya kalangan politisi NU belum memiliki kemampuan yang cukup baik untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan ini. Dengan kata lain, kita belum mampu menjadikan partai politik atau kekuasaan sebagai alat untuk mengembangkan sektor pendidikan agar selaras dengan perkembangan ekonomi global dan menjadikan partai sebagai intrumen untuk membuat basis-basis produksi ekonomi warga NU.

Alih-alih menghabiskan energi untuk mengkritik peran politisi NU, lebih baik kita kembali menghidupkan tradisi entrepreneurship yang sudah ada di dalam NU. Bukankah Nahdlatut Tujjar adalah tradisi yang terpinggirkan selama ini? Bukankah saudagar santri pernah memiliki masa-masa keemasan sebelum dilumpuhkan oleh Orde Baru?.***
--------------------------------
Rahmat Hidayat, S.HI.
(Ketua Dewan Pendiri Perhimpunan Masyarakat Pesantren Indonesia, Caleg Partai Kebangkitan Bangsa No. urut 2 Untuk DPRD Provinsi DKI Jakarta Daerah Pemilihan Jakarta Timur)

1 komentar:

Nirmana mengatakan...

benar sekali uraiannya...di lokasiku, ada 11 pesantren NU..kecil-kecil skalanya memang tapi tetap eksis dari jaman dulu mpe skr, namun yg pasti apa yg di ajarkan di pesantren semata ilmu religi semntara untuk tausiyah santri yg saudagar..kayaknya hampir2 tidak tersentuh...oh...begini rupanya wajah "NU Modern"...?????

 
© Copyright by Generasi Hijau  |  Template by Blogspot tutorial